Monday 3 May 2010

Romantisme Parahyangan dan Kambing Hitam

Mid abad 19, Bandung yang saat itu masih dikenal dengan Parahijangan, merupakan tempat yang terisolasi. Kawasan ini terkenal karena hasil perkebunan seperti teh dan kina. Perjalanan menuju bandung yang berliku dan medan yang sulit membuat waktu tempuh ke Bandung sangat lama di saat itu. Hasil perkebunan, keindahan alam, dan hawa sejuk yang dimiliki Bandung membuat para penjajah Belanda membangun jalur transportasi untuk membuka keterisolasian Bandung. Maka pada tahun 16 Mei 1884 mulailah dibangun rel kereta api Batavia-Parahijangan.

Selesainya pembangunan rel kereta api, Bandung otomatis mengalami perkembangan kapasitas kotanya, baik kuantitas dan kualitas wilayahnya. Pada awalnya yang merupakan kota perkebunan setelah selesainya pembangunan rel kereta api, Bandung pun menjadi kota wisata dan tempat tinggal favorit penjajah Belanda. Saking seriusnya pengembangan jalur transportasi kereta api menuju Bandung, loko uap yang digunakan pun adalah loko uap tercepat di masanya yang memiliki kecepatan hingga 90 km/jam. Pada saat itu nama kereta yang dioperasikan pada relasi Batavia - Parahijangan yaitu KA Vlugge Vier. Kereta api ini merupakan kereta elit di masa itu. Kereta yang memiliki kelas sama adalah Eendansche Express. Eendasche Express merupakan cikal bakal KA Bima yang melayani relasi Jakarta-Surabaya PP, maka Vluggie Vier inilah yang menjadi cikal bakal KA Parahyangan di tahun 1970-an.

Pada 27 April 2010 PT Kereta Api menghentikan KA Parahyangan yang melayani relasi Bandung - Jakarta pulang pergi karena terus merugi hingga 36 Miliar per tahun. Tol Cipularang menjadi kambing hitam untuk pembelaan para pengambil kebijakan di Spoor Companische peninggalan Pemerintah Kolonial tersebut. PT KA beralasan dengan dibangunnya Tol Cipularang okupansi KA Parahyangan menurun drastis, hingga 50-60 persen. Padahal masa jayanya frekuensi perjalanan KA Parahyangan mencapai 20 kali di hari biasa dan 30 kali di akhir pekan. Walau sudah diturunkan harga tiketnya namun okupansi tidak jua beranjak dari kisaran 50-60 persen.

Menjadi pertanyaan penulis, apakah Tol Cipularang memang benar merupakan penyebab meruginya KA Parahyangan atau Tol Cipularang menjadikan konsumen cerdas terhadap kualitas layanan yang diberikan penyedia layanan jasa transportasi baik PT KA dan moda transportasi darat lainnya.

Mencari kambing hitam dan mengkritik kebijakan selalu menjadi upaya klasik para pengambil keputusan di PT KA atas kegagalan mereka. Mereka menyalahkan Pembangunan Tol Cipularang dan menjamurnya perusahaan oto bus dan travel sebagai penyebab utama menurunya okupansi KA Parahyangan. Manajemen PT KA tidak melakukan intropeksi dan evaluasi atas kualitas layanan mereka secara internal. Mereka berkilah telah melakukan kajian mendalam atas kebijakan penghapusan KA Parahyangan yang hasil kajiannya pun tidak pernah publik ketahui, yang penulis ketahui PT KA hanya melakukan penurunan tarif dan publikasi kebijakan tersebut di lingkungan stasiun kereta api, tidak lebih dari itu. Karena PT KA merasa sangat percaya diri bahwa konsumen akan tertarik dengan tarif yang murah. PT KA menganggap bahwa kualitas layanan tidak berpengaruh terhadap loyalitas penumpang PT KA.

Sebuah penelitian yang berjudul “Identifikasi Faktor-Faktor Berpengaruh Dominan Terhadap Pelayanan KA Parahyangan.” yang dilakukan mahasiswa ITB memberikan gambaran layanan yang diberikan PT KA. Penelitian terhadap faktor-faktor pelayanan berpengaruh di atas KA Parahyangan yang dilakukan pada tahun 2006 ini sangat menggambarkan bahwa penumpang merasa kurang puas terhadap pelayanan yang ada terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor pelayanan petugas, kesenangan, kenyamanan, dan keamanan. Penelitian ini menggambarkan masih bermasalahnya kualitas layanan yang dilakukan di KA Parahyangan. Jadi menurut penulis Tol Cipularang dan pertumbuhan perusahaan travel hanyalah sebuah trigger yang mempercepat KA Parahyangan ditinggalkan penumpang loyalnya.

Bila saja PT KA secara berkala melakukan standar evaluasi atas kualitas layanannya penulis yakin loyalitas penumpangnya tidak akan berpindah begitu saja menggunakan moda transportasi darat lain walau mereka menawarkan waktu tempuh yang lebih cepat. Karena begitu banyak kenangan dan peristiwa yang tidak begitu saja dapat dilupakan. Momentum penghentian operasi PT KA Parahyangan ini harusnya bisa diambil intisari bahwa konsumen saat ini kritis dan bisa memilih walaupun di atas KA Parahyangan banyak kenangan dan peristiwa yang tak akan terlupakan. Romantisme yang terukir akan lenyap begitu saja ketika kita tidak bisa memberikan tempat untuk mengingat dan menikmatinya.

PT KA berkaca dan berubahlah atau kalian akan mati perlahan.

1 comment:

  1. Memang benar, kereta api harusnya lebih diberdayakan karena merupakan angkutan massal yang bebas polusi.

    Nggak apa-apa deh Parahyangan pensiun, masih ada KA Argo Parahyangan yang menjalani rute Jakarta-Bandung pp

    ReplyDelete